Lagu Anak-Anak Musnah di Telan Zaman, Apa yang Salah?

Kids zaman now ingin lebih bahagia ketika mendengar lagu-lagu remaja dan dewasa yang bertajuk cinta. Padahal, anak-anak perlu hiburan berupa lagu yang sesuai didengarkan cocok usia mereka. Apakah lagu anak-anak bakal kembali hadir di 2018 atau memang telah punah tergerus zaman?

Kalau anda mundur dua atau tiga dekade, lagu anak-anak paling mendominasi panggung musik tanah air. Sejumlah biduan cilik juga menjadi idola yang paling digandrungi. Sebut saja Agnes Monica, Tasya Kamila, Bondan Prakoso, Joshua Suherman, Tina Toon, Cindy Cenora, Dea Imut, Sherina, Enno Lerian, dan tidak sedikit lagi.

Sejumlah lagu anak zaman old masih terngiang hingga sekarang. Di antaranya ialah "Abang Tukang Baso", "Andai Aku Besar Nanti", "Balonku", "Bintang Kecil", "Cicak di Dinding", "Dua Mata Saya", "Topi Saya Bundar", "Naik-Naik ke Puncak Gunung", dan lainnya.

Lagu Anak-Anak


Ironisnya, lagu anak-anak bukan lagi sepopuler dulu. Mungkin dapat dihitung dengan jari, biduan cilik yang karyanya menggema. Berdasarkan keterangan dari pengamat musik Adib Hidayat, rasa dahaga bakal lagu anak-anak tak dapat dibendung. Namun sayang, peta industri musik zaman kekinian bertolak belakang dengan zaman dulu.

"Ini pertanyaan yang tak pernah berhenti ditanyakan masing-masing tahun. Kemana gerangan lagu anak-anak? Mengapa biduan anak tidak tidak sedikit yang terdengar? Setiap era, lagu anak-anak tidak jarang kali ada dan punya pahlawannya masing-masing. Mulai dari Adi Bing Slamet, Agnes Monica, dan kini ada Naura," ujar Adib

Pergeseran strategi promosi lagu dan minimnya pemberitaan


Minimnya lagu anak-anak, bukan tanpa alasan. Sekalinya ada biduan anak-anak laksana CJR, tetapi lagu yang diluncurkan lebih bertajuk cinta. Berdasarkan keterangan dari Adib Hidayat, sebetulnya tak sedikit biduan cilik yang sudah merilis karya mereka. Apa yang sebetulnya jadi kendala?

"Pertama, media tidak cukup merespon lagu anak-anak yang muncul. Ketika terdapat karya, terdapat keengganan guna meng-interview atau memutar lagu semua penyanyi cilik di radio. Sekalinya ada, porsinya tidak banyak. Banyak pun radar media yang tidak jeli dalam menyaksikan potensi dan bakat biduan anak," lontar wartawan musik senior tersebut.

Minimnya pemberitaan menciptakan produser musik lebih memilih menginvestasikan dananya untuk biduan yang mengekor tren musik.

"Media yang hendak memberitakan biduan cilik terus berkurang, panggung atau lokasi tampil guna lagu anak-anak pun sedikit. Hal ini menciptakan produser akan beranggapan ulang guna menggempur promosi lagunya. Industri dan ekosistemnya tidak berlangsung baik. Pada akhirnya, lagunya tidak tersiar dan hingga ke telinga masyarakat," lanjut Adib.

Maksimalkan industri musik digital


Pria yang pernah menahkodai majalah Rolling Stones Indonesia ini melanjutkan, urusan ini juga diprovokasi situasi pasar musik yang lesu. Namun, ia menganjurkan supaya biduan cilik yang ada tidak boleh berhenti berkarya. Media promosinya kini sudah semakin luas.

"Kalau dulu guna mempromosikan lagu mesti melewati launching, pemutaran radio, dan interview dengan sebanyak media online dan televisi. Sekarang media sosial dapat dimanfaatkan laksana Soundcloud, Instragram, hingga Youtube. Belum lagi semakin tidak sedikit akses streaming yang dapat dimaksimalkan untuk memperkenalkan sebuah karya ke masyarakat," tutur Adib.

Ia menyarankan supaya media-media televisi memberi ruang lebih tidak sedikit untuk biduan cilik dapat berkreasi. "Kalau tidak salah, dalam masa-masa dekat bakal ada ajang penelusuran bakat di di antara stasiun teve swasta yang melibatkan biduan cilik. Semoga lagu anak-anak akan dapat menjadi tren pada 1-2 tahun mendatang," harapnya.